Senin, 21 April 2008

sekali lagi tentang Hak asasi

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu oleh Kekuatan Politik yang Bukan Bagian dari Masa Lalu

Pengantar

Sepanjang perjalanan kehidupan, masa transisi adalah masa keterjebakan yang menyulitkan. Menurut penyair pemenang Nobel Sastra 1995, transisi adalah sebuah dilema dalam segala dimensinya . Masa transisi, dalam segala bentuk definisinya, merupakan masa peralihan dan perubahan dalam bentuk positif dan negative, yang mampu mencerabut system nilai dan mengguncang tatanan social yang mapan. Masa transisional dalam negatifnya adalah menggugat secara paradigmatic, dimana system nilai yang tergugat berada dalam keadaan dan fenomena yang tidak normal. Sebaliknya, fenomena transisional juga menawarkan konsep-konsep baru dalam tatanan sosil kehidupan..
Masa transisi adalah masa yang berat dimana dalam satu putaran masa tersebut terdapat dua beban sekaligus, yakni transisi harus menyelesaikan kekerasan masa lalu dan transisi juga harus mampu menghadirkan harapan baru bagi tatanan social yang lebih adil dan damai. Karena transisi merupakan peralihan sebuah Negara dimana rezim yang sebelumnya berkuasa adalah rezim otoriter yang diktator-militerristik , kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan secara sistemik dan dilakukan oleh negara.
Pelanggaran HAM yang sistemik, meluas, dan dilakukan oleh Negara merupakan bentuk kehancuran demokrasi kenegaraan dan rendahnya instrument hukum dalam mengadili kejahatan oleh Negara. Menyelesaikan, menyelidiki, serta memproses pelanggaran HAM berat dimasa lalu tidak hanya menegakkan hak asasi manusia yang harus dihormati, namun dalam konteks kenegaraan hal ini juga sebuah proses rekonstruksi system politik dan system hukum Negara .
Satu decade pasca runtuhnya rezim orde baru, bangsa Indonesia belum juga mampu keluar dari polemic transisional ini. Banyak kajian yang dilakukan dalam rangka menuntaskan kontruksi system dan kenegaraan bangsa Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Peneliti CSIS, Indra J. Piliang . Menurutnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan transisi yang ahistoris, ada ketidaksamaan transisi yang terjadi di Indonesia dengan Negara lain yang menurut ilmuwan yang mendalami transisi demokrasi, seperti Alfred Stepan, Juan Linz, Larry Diamond atau Guillermo O'Donnell, serta kesulitan bagi bangsa Indonesia saat ini untuk melakukan konsolidasi demokrasi.
Jika secara teoritis dinyatakan bahwa salah satu bentuk transisi bangsa adalah adanya dekonstruksi system politik Negara, namun di Indonesia, meskipun rezim otoriter telah tumbang system dan tatanan politik yang ada tetap menggunakan pola-pola lama. Sehingga proses transisi menuju konsolidasi bangsa hingga saat ini belum tercapai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada system ketatanegaraan Indonesia saja, namun dalam proses penyelesaian kekerasan dimasa lalu pun hingga saat ini tidak pernah tuntas.

Upaya Penyelesaian: dari yang baru bukan bagian masa lalu
Secara teoritis untuk menjamin terlaksananya pelaksanaan HAM diperlukan tiga hal, yakni peraturan perundang-undangan yang baik, lembaga peradilan yang independent, serta lembaga pelaksana yang demokratis. Ketiga factor tersebut merupakan factor yang sangat signifikan dalam upaya penyelesaian tindak kekerasan terhadapa HAM dimasa lalu. Menurut J.E. Sahetapy, dalam menanggapi faktor-faktor penghambat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, beliau berpendapat bahwa upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya, nampak seperti kincir angin -Berputar-putar terus, tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tegas.
Meskipun pemerintah telah membuat instrument penegakan HAM, namun yang terjadi adalah ketidakefektifan dalam pelaksanaan. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM . Ketidakefektifan instrument penegakan HAM bukan karena kualitas instrument tersebut, akan tetapi actor pelaksana instrument tersebut berada pada system dan tatanan politik yang masih menggunalan pola-pola lama. Salah satu contoh baru-baru ini adalah Komnas HAM mengajukan surat ke Presiden Yudhoyono, terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik korban serta keluarga korban kasus kekerasan politik tahun 1965, namun Negara cenderung mengabaikan .
Artinya adalah, tidak ada politic will dari pemerintah untuk menyelesaikan kekerasan masa lalu, hal ini disebabkan konfigurasi politik di pemerintahan. Kekuatan politik mayoritas bias menjadi penghalang dari upaya penyelesaian HAM masa lalu. Apalagi dalam ranah sejarah, kekuatan politik mayoritas -parlemen itu merupakan bagian integral dari rezim yang melahirkan kekerasan itu –orde baru.
Dalam upaya menyelesaikan HAM masa lalu, tidak hanya dibutuhkan kepemimpinan eksekutif yang baru , kuat dan bukan bagian rezim masa lalu, namun kekuatan parlemen yang bukan bagian rezim otoriter –lah yang mampu besinergi dengan pemerintah dalam upaya penegakan pelanggaran HAM di masa lalu. Jika unsur-unsur rezim masa lalu masih mayoritas dan dominan di pemerintahan maka upaya penyelesaian HAM masa lalu akan sulit untuk menemukan titik terang. Yang terjadi adalah berputar-putar terus laksana seperti kincir angin.


Daftar Pustaka

Asshiddiqqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2005.
Muladi, Hak Asasi Manusia, 2005
Todung Mulya Lubis, kumpulan Tulisan Hak Asasi Manusia.
Jurnal Hak Asasi Manusia, DIGNITAS, 2003
www.kompas.co.id
www.suara-pembaruan.com

Tidak ada komentar: