Senin, 21 April 2008

sekali lagi tentang Hak asasi

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu oleh Kekuatan Politik yang Bukan Bagian dari Masa Lalu

Pengantar

Sepanjang perjalanan kehidupan, masa transisi adalah masa keterjebakan yang menyulitkan. Menurut penyair pemenang Nobel Sastra 1995, transisi adalah sebuah dilema dalam segala dimensinya . Masa transisi, dalam segala bentuk definisinya, merupakan masa peralihan dan perubahan dalam bentuk positif dan negative, yang mampu mencerabut system nilai dan mengguncang tatanan social yang mapan. Masa transisional dalam negatifnya adalah menggugat secara paradigmatic, dimana system nilai yang tergugat berada dalam keadaan dan fenomena yang tidak normal. Sebaliknya, fenomena transisional juga menawarkan konsep-konsep baru dalam tatanan sosil kehidupan..
Masa transisi adalah masa yang berat dimana dalam satu putaran masa tersebut terdapat dua beban sekaligus, yakni transisi harus menyelesaikan kekerasan masa lalu dan transisi juga harus mampu menghadirkan harapan baru bagi tatanan social yang lebih adil dan damai. Karena transisi merupakan peralihan sebuah Negara dimana rezim yang sebelumnya berkuasa adalah rezim otoriter yang diktator-militerristik , kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan secara sistemik dan dilakukan oleh negara.
Pelanggaran HAM yang sistemik, meluas, dan dilakukan oleh Negara merupakan bentuk kehancuran demokrasi kenegaraan dan rendahnya instrument hukum dalam mengadili kejahatan oleh Negara. Menyelesaikan, menyelidiki, serta memproses pelanggaran HAM berat dimasa lalu tidak hanya menegakkan hak asasi manusia yang harus dihormati, namun dalam konteks kenegaraan hal ini juga sebuah proses rekonstruksi system politik dan system hukum Negara .
Satu decade pasca runtuhnya rezim orde baru, bangsa Indonesia belum juga mampu keluar dari polemic transisional ini. Banyak kajian yang dilakukan dalam rangka menuntaskan kontruksi system dan kenegaraan bangsa Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Peneliti CSIS, Indra J. Piliang . Menurutnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan transisi yang ahistoris, ada ketidaksamaan transisi yang terjadi di Indonesia dengan Negara lain yang menurut ilmuwan yang mendalami transisi demokrasi, seperti Alfred Stepan, Juan Linz, Larry Diamond atau Guillermo O'Donnell, serta kesulitan bagi bangsa Indonesia saat ini untuk melakukan konsolidasi demokrasi.
Jika secara teoritis dinyatakan bahwa salah satu bentuk transisi bangsa adalah adanya dekonstruksi system politik Negara, namun di Indonesia, meskipun rezim otoriter telah tumbang system dan tatanan politik yang ada tetap menggunakan pola-pola lama. Sehingga proses transisi menuju konsolidasi bangsa hingga saat ini belum tercapai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada system ketatanegaraan Indonesia saja, namun dalam proses penyelesaian kekerasan dimasa lalu pun hingga saat ini tidak pernah tuntas.

Upaya Penyelesaian: dari yang baru bukan bagian masa lalu
Secara teoritis untuk menjamin terlaksananya pelaksanaan HAM diperlukan tiga hal, yakni peraturan perundang-undangan yang baik, lembaga peradilan yang independent, serta lembaga pelaksana yang demokratis. Ketiga factor tersebut merupakan factor yang sangat signifikan dalam upaya penyelesaian tindak kekerasan terhadapa HAM dimasa lalu. Menurut J.E. Sahetapy, dalam menanggapi faktor-faktor penghambat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, beliau berpendapat bahwa upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya, nampak seperti kincir angin -Berputar-putar terus, tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tegas.
Meskipun pemerintah telah membuat instrument penegakan HAM, namun yang terjadi adalah ketidakefektifan dalam pelaksanaan. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM . Ketidakefektifan instrument penegakan HAM bukan karena kualitas instrument tersebut, akan tetapi actor pelaksana instrument tersebut berada pada system dan tatanan politik yang masih menggunalan pola-pola lama. Salah satu contoh baru-baru ini adalah Komnas HAM mengajukan surat ke Presiden Yudhoyono, terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik korban serta keluarga korban kasus kekerasan politik tahun 1965, namun Negara cenderung mengabaikan .
Artinya adalah, tidak ada politic will dari pemerintah untuk menyelesaikan kekerasan masa lalu, hal ini disebabkan konfigurasi politik di pemerintahan. Kekuatan politik mayoritas bias menjadi penghalang dari upaya penyelesaian HAM masa lalu. Apalagi dalam ranah sejarah, kekuatan politik mayoritas -parlemen itu merupakan bagian integral dari rezim yang melahirkan kekerasan itu –orde baru.
Dalam upaya menyelesaikan HAM masa lalu, tidak hanya dibutuhkan kepemimpinan eksekutif yang baru , kuat dan bukan bagian rezim masa lalu, namun kekuatan parlemen yang bukan bagian rezim otoriter –lah yang mampu besinergi dengan pemerintah dalam upaya penegakan pelanggaran HAM di masa lalu. Jika unsur-unsur rezim masa lalu masih mayoritas dan dominan di pemerintahan maka upaya penyelesaian HAM masa lalu akan sulit untuk menemukan titik terang. Yang terjadi adalah berputar-putar terus laksana seperti kincir angin.


Daftar Pustaka

Asshiddiqqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2005.
Muladi, Hak Asasi Manusia, 2005
Todung Mulya Lubis, kumpulan Tulisan Hak Asasi Manusia.
Jurnal Hak Asasi Manusia, DIGNITAS, 2003
www.kompas.co.id
www.suara-pembaruan.com

presiden dan wakil rakyat

PRESIDEN DAN PARLEMEN DALAM HUBUNGAN KETATANEGARAAN ( IMPLIKASI PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG)

Sebagian besar negara di dunia saat ini menggunakan Teori negara demokrasi modern. Anggapan bahwa sistem negara demokrasi modern dirasa lebih representatif dan kedaulatan tetap berada ditangan rakyat. Dari berbagai tipe negara modern memiliki kesamaan yakni dalam hal ide kebebasan dalam prinsip penentuan kehendak sendiri . Perkembanganya prinsip penentuan kehendak sendiri tidak dapat dilaksanakan secara murni. Kedaluatan tersebut dilakukan melalui perwakilan , oleh karena itu negara demokrasi modern disebut sebagai pemerintahan perwakilan yang representatif.
Banyak hal yang dapat dicapai dari adanya sebuah pemilihan umum, kedaulatan rakyat, legitimasi pemerintahan, serta pergantian pemerintahan secara teratur . Pemilihan umum dianggap sebagai cara yang paling demokratis. Karena itu, pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan. kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa harus, di satu pihak, menjalankan dan, di lain pihak, mengawasi pemerintahan negara. Siapa menunjuk kepada orang (pemimpin) yang dipercaya rakyat untuk menjalankan kekuasaan politik guna mencapai tujuan-tujuan hidup rakyat, dan kepada sejumlah orang yang dipercaya mewakili rakyat mengawasi penyelenggara dan penyelenggaraan kekuasaan politik itu agar tidak disalahgunakan secara semena-mena. Karena. itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah "untuk memilih-milih dan melakukan pengawasan terhadap pemimpin dan wakil-wakil mereka".2 Ini menjadi inti praktek demokrasi modern yang secara umum dikenal sebagai demokrasi perwakilan .
Perkembangan konsep bernegara saat ini sebagian besar muncul dari teori kedaulatan rakyat. Alasan bahwa kekuasaan yang tertinggi adalah dimiliki oleh rakyata maka rakyatlah yang menentukan arah kehidupan dari suatu negar. Namun dalam perkembangannya, kedaulatan rakyat sulit dilaksanakan secara murni. Kompleksitas kondisi suatu negara serta jumlah penduduk dan geografis yang tidak kecil memunculkan gagasan sistem perwakilan atau biasa disebut dengan demokrasi representatif.

Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan satu-satunya kedaulatan yang masih dimiliki rakyat secara langsung. Proses pemilihan umum yang adil dan jujur adalah suatu bentuk perwujudan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Pemilu 2004 memberikan ruang aspirasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat, perkembangan dan tingkat kecerdasan politik masyarakat menuntut diberikannya kebebasan untuk dapat menyuarakan kepentingannya. Secara umum pengertian Sistem Pemilihan Umum adalah suatu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Sistem Pemilihan Umum adalah sebuah rangkaian aturan dimana di dalam nya terdapat cara pemilih mengekspresikan pilihan politik mereka dan suara itu kemudian diwujudkan melalui kursi-kursi di lembaga perwakilan.

Pemilihan Presiden (Pilpres) Langsung
Pada Pemilu tahun 2004, untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan sistem Pemilihan Presiden secara langsung. Dalam teori pemilihan umum eksekutif, terdapat dua jenis sistem pemilihan yakni indirect election dan direct election. Indirect election ( pemilihan tidak langsung ), terjadi ketika presiden dipilih oleh badan yang telah dipilih oleh masyarakt luas, ini merupakan bentuk perwujudan demokrasi secara terbatas. Sedangkan direct election ( pemilihan langsung ), dimana pemilih secara langsung memilih calon presiden. Menurut Mahfud MD , latar belakang diadakannya pemilihan presiden langsung yakni, Untuk memunculkan presiden dan wapres yang memeang dikehendaki rakyat; untuk menghindari politik uang dan meminimalisasi transaksi jabatan; serta untuk menjamin stabilitas pemerintahan.
Unsur Partai Politik

Pemilihan presiden secara langsung merupakan salah satu ciri utama pemerintahan bersistem kepresidenan / presidensiil. Namun, terdapat ketentuan bahwa pihak pengusul paket capres/cawapres adalah partai politik atau gabungan parpol , sehihngga hal ini menimbulkan reduksi sistem presidensiil. Adanya paket calon yang berasal dari Partai politik berbeda menimbulkan tidak tercapainya single chief executive . Sehingga implikasinya adalah terdapat pembagian kekuasaan antara presiden-wapres. Adanya unsur partai politik atau gabungan parpol meupakan bentuk kompromi tingkat tinggi. Secara teoritis, tidak ada kaitannya antara pemilihan presiden dengan partai politik, namun karena pihak pembuat peraturan pilpres adalah legislatif dimana terdapat banyak kesepakatan dan kompromi politik yang dibangun. Unsur partai politik / gabungan dalam UU Pilpres berimplikasi pada banyak hal, termasuk dalam hubungan legislatif dan eksekutif kedepannya, termasuk juga dalam tubuh internal eksekutif.
Ketentuan yang berlaku dalam pemilihan presien langsung : Pasal 6, 6A & lain-lain pasal
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat .
(3) Pilpres diselenggarakan oleh KPU (Pasal 22E ayat 2 & 5).
(4) Warganegara yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum presiden. Pencalonan didaftarkan kepada KPU.
(5) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Maksudnya adalah, pasangan tersebut dinyatakan sebagai Presiden-Wapres terpilih oleh KPU dan “dilantik” di depan MPR.
(6) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih menurut ketentuan di atas maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan perolehan terbanyak pertama dan kedua berhak mengikuti pemilihan babak berikutnya.
(7) Pasangan yang memperoleh suara terbanyak, dalam Pilpres II, dinyatakan sebagai Presiden dan wapres terpilih.
(8) Perselisihan hasil penghitungan suara Pilpres diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 1).
(9) Tata cara penyelenggaraan pemilihan dan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pemilihan presiden secara langsung pada dasarnya akan memberikan legitimasi yang kuat pada kedudukan presiden. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya


Secara teoritik, sistem Pemilu diklasifikasikan menjadi tiga sistem yakni, Pluralis- mayoritas, sistem semi proporsional, dan sistem proporsional. Pluralitas – mayoritas merupakan bahasa lain dari sistem distrik. Macam-Macam Variasi Sistem Pluralitas Mayoritas:
1. First Past The Post (FPTP), yakni pemilih diberikan pilihan untuk memilih dua partai besar, Calon anggota parlemen berasal dari partai calon anggota parlemen yang menang adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, serta suara pemilih yang pilihannya (calon anggota DPR) tidak berhasil meraih suara terbanyak adalah tidak diperhitungkan alias terbuang.
2. Black Vote, yakni secara umum sama deng FPTP, tetapi jika FPTP dilakukan dalam distrik berwakil tunggal, BV dilakukan dalam distrik berwakil majemuk.
3. Party Block Vote, yakni Secara umum sama dengan FPTP dan BV, Tetapi jika BV dan FPTP pemilih memilih person dalam PBV pemilih memilih partai. Partai yang memenangkan sebagaian besar suara akan mengambil semua kursi di distrik tersebut dan semua yang terdaftar sebagai calon anggota lembaga perwakilan benar-benar dipilih, seperti dalam sistem FPTP, tidak ada keharusan untuk memenangkan mayoritas suara
4. Alternative Vote, dilakukan dalam distrik berwakil tunggal, serta perbedaan dr yg lain, adalah ketika memilih seorang pemilih dapat mengurutkan prioritas calon anggota parlemen yg dipilihanya, misalnya dengan memberikan no 1 bagi pilihan utamanya.
5. Two Round System, Dalam sistem pemilihan model TRS pemilihan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi harus ada dua kali pemilihan. Dalam two round system, Putaran pertama dilaksanakan sama dengan seperti pemilihan model FPTP, jika seorang calon anggota lembaga perwakilan mendapatkan suara mayoritas absolut, maka mereka (calon anggota lembaga perwakilan) secara langsung dipilih, dan tidak diperlukan putaran kedua, tetapi jika tidak ada calon yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan dan pemenang dari putaran ini dinyatakan terpilih.

Sistem Pemilu semi Proporsional, merupakan penggabungan atau memiliki karakteristik yang cukup dekat baik itu dengan sistem Pluralitas-Mayoritas dan sistem proporsional, ada beberapa model dalam sistem pemilihan Semi Proporsional, antara lain:
1. Paralel System, Dalam Sistem paralel, pemilih memilih 2 pilihan, kertas suaranya 2, yaitu pilihan dengan sistem distrik dan sistem proporsional. Hasil pemilihan dalam parallel system menghasilkan 2 jenis lembaga perwakilan, kayak di Indonesia ada DPD yang isinya dipilih berdasar sistem distrik dan DPR yg dipilih berdasar sistem proporsional
2. Limited Vote, Sistem ini termasuk sistem yang paling jarang digunakan, karena menggunakan sistem perwakilan untuk kaum minoritas. Limited Vote menggunakan distrik wakil majemuk, dan calon yang menang adalah yang memperoleh suara terbanyak.
3. Single Non Transferable Vote (SNTV) dimana setiap pemilih mempunyai satu suara, tetapi ada lebih satu kursi yang harus diisi dalam setiap distrik

Electoral Systems: Kategori Utama dan Variasinya

Plurality-Majority
Semi-proportional
Proportional

FPTP: First Past The Post Parallel systems List Proportional Representation
BV: Block Vote Single Non-Transferable Vote (SNTV) Mixed Member Proportional (MMP)
AV: Alternative Vote Single Transferable Vote (STV)
TRS: Two-Round System



Sistem pemilihan presiden pasca amandemen UUD 1945 tidak lagi ada campur tangan parlemen, bukan hanya melalui pemungutan pendapat pemilih secara langsung, melainkan juga dirancang dalam dua putaran (FPTP in two round and direct presidential election). Sistem ini akan menghasilkan presiden yang kuat jika pada putaran pertama calon presiden dan wapres dapat meraih suara 50 % plus 1. Artinya, pilpres hanya diadakan satu kali putaran. Namun hal tersebut tidak mungkin dapat tercapai, hampir dipastikan tidak ada calon presiden yang dapat memperoleh suara mayoritas absolut.
Menurut MAHFUD MD , dalam hubungannnya dengan sistem multipartai seperti saat ini, Pilpres akan sulit selesai dalam satu putaran. Sebab menurut UU pilpres 2004 misalnya, syarat jumlah suara berdasarkan pemilu legislatif yang harus dimilki partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden hanyalah 3 %, artinya setiap partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden sudah mengetahui hasil peroleh suara dalam pemilu legislative.
Meskipun banyak pengamat yang mengkritisi two-round system yang digunakan Indonesia. Sistem ini tidak memungkinkan untuk situasi politik dan geografis Indonesia, terlalu boros dan tidak efektif . Namun Ide dasar dari model pemilihan two round system ini adalah untuk menghindari terpilihnya sepasang kandidat presiden dan wapres dengan proporsi perolehan suara yang sangat minimal dibandingkan dengan jumlah pemilih secara keseluruhan. Pada dasarnya sistem two-round system merevisi sistem first past the post, yaitu suatu sistem pemilihan sepasang kandidat yang paling sederhana di mana kursi kepresidenan dan wakilnya diberikan pada kandidat yang paling banyak memperoleh suara. Beberapa negara yang dikenal mengikuti sistem first past the post ini adalah Zimbabwe, Kenya, Filipina, Zambia, Korea Selatan, Malawi, Islandia dan Mexico. Adapun negara-negara yang memakai sistem dua putaran adalah Mali, Pantai Gading, Kongo, Madagaskar, Polandia, Portugal, Rusia, Ukraina, Finlandia, Austria , Bulgaria dan lain-lain.
Sistem first past the post, besar kemungkinan akan menghasilkan sepasang pemenang pemilu dengan raihan suara mayoritas sederhana. Calon presiden dapat menjadi presiden dengan hanya mengantongi suara 20 persen saja atau bisa jadi di bawah itu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Venezuela pada tahun 1993 yaitu ketika Rafael Caldera cukup bermodalkan 30,5% pemilih untuk merebut tiket menjadi presiden. Kasus yang serupa terjadi di negara tetangga kita, Filipina. Dari tujuh kandidat presiden, Fidel Ramos cukup mengantongi 25% suara pemilih saja. Dengan demikian, sistem dua putaran coba menganulir kelemahan sistem satu putaran dalam kerangka mempertebal legitimasi sepasang kandidat presiden dan wapres yang terpilih. Sementara itu, dalam model pemilihan satu putaran, karena dimungkinkan pemenang hanya meraih mayoritas sederhana dari voters turn out yang ada, maka besar kemungkinan calon presiden tidak memiliki kekuatan yang cukup secara legitimasi setelah memenangkan pemilu.

Koalisi

Koalisi dalam rangkaian pemilu presiden adalah akibat dari adanya Unsur partai politik yang mengusung pasangan kandidat. Sistem multipartai yang dianut di Indonesia berimplikasi pada adanya koalisi partai-partai politik. Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sedangkan, koalisi kebesaran adalah bentuk pemerintahan yang sebagian besar mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya.
Koalisi pemerintahan yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya, koalisi kebesaran telah menghasilkan pemerintahan yang terlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik ke depan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas. Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; Koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Yang ideal adalah dibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak mengorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas, selain itu juga melahirkan interaksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahirkan relasi presiden dan parlemen yang destruktif; sama halnya koalisi dan kabinet yang kebesaran tidak menjadi pilihan karena menghadirkan hubungan presiden dan parlemen yang kolutif .
Presiden minoritas, itulah produk yang dihasilkan dari sistem pilpres putaran kedua jika suara mutlak 50% plus satu. Hal ini merupakan implikasi konfigurasi politik (multi-partai dan fragmentasi) dalam sistem pemilihan umum. Presiden minoritas ini bukan karena pasangan calon presiden/wapres tersebut tidak dapat memperoleh banyak suara, melainkan ketika paket presiden/wapres yang dihasilkan melalui Pilpres Putaran Kedua harus berhadapan dengan mayoritas partai di DPR dari kubu non-presiden . Artinya, sangat dimungkinkan terjadinya koalisi partai-partai politik yang tidak memiliki basis suara yang mayoritas, sehingga terdapat “pasangan minoritas” menjadi presiden/wapres melalui Pilpres Putaran kedua .
Kondisi semacam ini mengharuskan presiden terpilih memperhatikan kehendak parlemen karena kebijakannya (dan janji-janji Pemilu) diwujudkan melalui pengangkatan menteri sari salah satu partai, proses legislasi dan APBN. Implikasinya adalah praktek politik dagang sapi dan politik uang dalam pengambilan kebijakan yang kasat mata. Dampak berikutnya adalah ketegangan terus-menerus antara Presiden dan DPR, dua kekuasaan negara yang memiliki legitimasi yang kuat dan langsung dari rakyat . Namun, hal ini juga akan dapat memunculkan mekanisme cheks and balances antara kekuasaan presiden dan kekuasaan legislatif yang memungkinkan adanya kontrol dan keseimbangan antara kekuasaan presiden dan legislatif, sehingga akan terbangun konsep dan kultur oposisi dalam pemerintahan di Indonesia.

Pemisahan Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pemilihan umum legislatif dilaksanakan tidak bersamaan dengan pemilihan presiden . Pemisahan ini merupakan akibat dari pengaturan Pasangan Calon presiden/ wapres hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR . Sehingga untuk mengetahui jumlah perolehan suara partai politik, pemilu legislatif dilaksanakan sebelum pemilu eksekutif.
Pada dasarnya, adanya syarat 20 % suara sah partai politik atau gabungan secara nasional tak berkaitan langsung dengan pemilu presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, kedudukan presiden adalah tidak bergantung pada parlemen. Presiden memiliki kekuasaan yang dituangkan dalam konstitusi, misalnya masa jabatan presiden, pemakszulan presiden, dsb. Namun, dengan adanya sistem multipartai dalam pemilu legislatif dan dipadukan dengan sistem presidensiil murni maka akan menghasilkan ketidakstabilan pemerintahan ( minority president ) dan pemerintahan terbelah (divided government). Akibatnya Presiden hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen dan ditambah minimnya kekuasaan konstitusional, menyebabkan banyak sistem presidensial gagal menghadirkan demokrasi yang stabil .
Atas dasar hal tersebut, pengaturan syarat Partai Politik pengusung partai politik atau gabungan secara nasional ini akan menghasilkan presiden yang memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat dan juga menghasilkan presiden yang tidak minoritas. Sehingga presiden pilihan langsung ini mampu melaksanakan kebijakannnya dan menyelenggarakan pemerintahan secara stabil serta presiden tidak mudah untuk dimakzulkan.